SEJARAH KETATANEGARAAN
INDONESIA
Makalah Pendidikan
Kewarganegaraan
( Softskill )
Disusun Oleh :
Nama : Khoiriah
NPM : 13210889
Kelas : 2ea21
PENDAHULUAN
Perkembangan
ketatanegaraan dapat di bagi menjadi beberapa periode,sejak masa Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945 sampai sekarang. Walaupun sebenarnya tonggak
ketatanegaraan Indonesia telah ada jauh sebelum proklamasi. Secara formal,
periode perkembangan ketatanegaraan itu dapat dirinci sebagai berikut.
1.
Periode berlakunya UUD
1945 ( Agustus 1945-27 Desember 1949 )
2.
Periode berlakunya
Konstitusi RIS 1949 (27 Desember 1949-17
Agustus 1950 )
3.
Periode berlakunya UUD
1950 (17 Agustus 1950-5 juli 1959 )
4.
Periode berlakunya kembali UUD 1945 (5 juli 1959-Sekarang ).Pada periode
ini pun terbagi menjadi beberapa periode,yaitu :
a.
Periode Order Lama ( 5
juli 1959-11 Maret 1966 )
b.
periode Order Baru ( 11 Maret 1966-21 Mei 1998 )
5.
Periode Reformasi (21 Mei
1998-Sekarang )
Untuk lebih jelasnya setiap periode akan
diuraikan pada bab pembahasan
PEMBAHASAN
1.
Periode
Undang-Undang Dasar 1945
Bentuk
negara Republik Indonesia pada kurun waktu 18 Agustus 1945 sampai dengan 27
Desember 1945 adalah Negara Kesatuan. Landasan yuridis negara kesatuan
Indonesia antara lain sebagai berikut .
a. Pembukaan UUD 1945 alinea 4, yang
berbunyi:
“...
melindungi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia ...” Hal tersebut menunjukan satu kesatuan
bangsa Indonesia dan satu kesatuan wilayah Indonesia .
b
. Pasal 1 ayat 1 UUD 1945 yang
berbunyi :
“ Negara Republik Indonesia ialah negara
kesatuan yang berbentuk Republik.” Kata Kesatuan dalam pasal tersebut
menunjukkan bentuk negara, sedangkan Republik menunjukkan bentuk pemerintahan.UUD
1945 tidak menganut teori pemisahan kekuasaan secara murni
Seperti
yang diajarkan Montesquieu dalam
ajaran Trias Politika.UUD 1945 lebih
cenderung menganut prinsip Pembagian Kekuasaan ( Distribution of Power ). Dalam
prinsip Pembagian Kekuasaan antara lembaga yang satu dengan yang lainnya masih
dimungkingkan adanya kerja sama menjalankan tugas-tugasnya.
Menurut UUD 1945, seperti yang
telah di sebutkan di atas bahwa kekuasaan-kekuasaan dalam negara di kelola oleh
lima lembaga, yaitu .
a.
Legislatif, yang dilakukan
oleh DPR.
b.
Eksekutif, yang di
jalankan oleh presiden.
c.
Konsultatif, yang
dijalankan oleh DPA.
d.
Eksaminatif (mengevaluasi
), kekuasaan inspektif ( mengontrol ), dan kekuasaan auditatif (memeriksa ), yang di jalankan oleh BPK.
e.
Yudikatif, yang dijalankan
oleh Mahkamah Agung.
Namun, pembagian kekuasaan
pada masa UUD 1945 kurun waktu 18 Agustus 1949 sampai dengan 27 Desember 1945
belum berjalan sebagaimana mestinya. Hal ini disebabkan belum trebentuknya
lembaga-lembaga negara seperti yang di kehendaki UUD 1945.
Seperti kita ketahui, pada kurun waktu itu Indonesia
hanya ada presiden, wakil presiden, dan menteri-menteri, serta KNIP. Oleh
karena itu, sejak tanggal 18 Agustus
1945 sampai 16 oktober 1945 segala kekuasaan (eksekutif, legislatif, dan
yudikatif ) dijalankan oleh satu badan atau lembaga, yaitu presiden dibantu
oleh KNIP. Jadi dapat dikatakan belum ada pembagian kekuasaan. Kekuasaan
presiden yang demikian luas itu berdasarkan Pasal IV aturan peralihan UUD 1945
Namun, setelah munculnya Maklumat Wakil Presiden No.
X (baca: teks ) tanggal 16 oktober 1945, terjadi pembagian kekuasaan dalam dua
badan, yaitu kekuasaan legislatif
dijalankan oleh KNIP dan kekuasaan-kekuasaan lainnya masih tetap di
pegang oleh presiden sampai tanggal 14 November.
Dengan keluarnya Maklumat Pemerintah tanggal 14
November 1945, kekuasaan eksekutif yang semula dijalankan oleh presiden beralih
ke tangan perdana menteri sebagai konsekuensi
dari dibentuknya sistem pemerintahan parlementer.
Mengingat keadaan pada masa awal kemerdekaan negara
kita masih berada masa peralihan hukum pemerintahan, pelaksanaan ketatanegaraan
seperti yang diamanatkan oleh UUD 1945 belum dapat sepenuhnya dilasanakan.
Namun, penjelasan UUD 1945 telah mengantisipasi keadaan itu. Menurut Pasal IV
Aturan peralihan, bahwa sebelum MPR, DPR , dan DPA di bentuk menurut UUD 1945,
segala kekuasaan negara dijalankan oleh presiden dengan bantuan sebuah komite
nasional.
Namun dalam perkembangannya KNIP yang dibentuk itu
menuntut kekuasaan legislatif kepada pemerintah / presiden sehingga
keluarlah Maklumat Wakil Presiden No. X,
yang memberikan kewenangan kepada KNIP untuk menjalankan
Kekuasaan legislatif ( DPR / MPR ).
Penyimpangan kekuasaan KNIP menjadi lembaga
legislatif ( parlemen ) waktu itu dimungkinkan
setelah keluarnya Maklumat Pemerintah pada 14 November 1945, yang
menyatakan bahwa prinsip pertanggungjawaban menteri-menteri kepada KNIP secara
resmi diakui. Akibatnya, di bentuklah kabinet baru yang dipimpin oleh Sutan
Syahrir ( sebagai Perdana Menterinya ).
2.
Periode
Konstitusi Republik Indonesia Serikat ( RIS ) 1949
Menurut
ketentuan pasal-pasal yang tercantum dalam Konstitusi RIS, sistem pemerintahan
yang dianut adalah sistem pemerintahan
parlementer. Pada sistem ini, Kabinet bertanggung jawab kepada parlemen
( Dewan Perwakilan Rakyat ), dan apabila pertanggungjawaban itu tidak diterima
oleh Dewan Perwakilam Rakyat maka dapat menyababkan bubarnya kabinet. Jadi,
kedudukan kabinet bergantung kepada DPR.
Sistem pemerintahan parlementer
mempunyai ciri-ciri pokok berikut ini.
a.
Perdana menteri bersama
para menteri baik secara bersama ataupun sendiri-sendiri bertangggung jawab
kepada parlemen.
b.
Pembentukan kabinet
didasarkan pada kekuatan-kekuatan yang ada dalam parlemen.
c.
Para anggota kabinet
mungkin seluruhnya atau sebagian mencerminkan kekuatan yang ada dalam parlemen.
d.
Kabinet dapat dijatuhkan
setiap saat oleh parlemen dan sebaliknya kepala negara dengan saran perdana
menteri dapat memubarkan parlemen dan memerintahkan diadakannya pemilihan umum.
e.
Lamanya masa jabatan
kabinet tidak dapat di tentukan dengan pasti.
f.
Kedudukan kepala negara
tidak dapat diganggu gugat atau di minta pertanggungjawaban atas jalannya
pemerintahan.
Dengan
demikian, yang membedakan sistem pemerintahan presidensial dengan
parlementer adalah sebagai berikut.
a.
Sistem pemerintahan
presindensial yang menjadi kepala negara
pasti seorang presiden, sedangkan dalam pemerintahan parlementer yang
menjadi kepada negara bisa presiden, raja, atau kaisar.
b.
Sistem pemerintahan
parlementer, pemerintah bertanggung jawab dan berada di bawah pengawasan
parlemen,sedangkan dalam sistem pemerintahan presindensial pemerintah tidak
bertnggung jawab kepada parlemen / DPR.
Sejarah
sistem pemerintahan parlementer di Indonesia telah dimulai sejak periode
berlakunya Undang-Undang Dasar 1945 yang pertama. Tepatnya sejak dikeluarkan
Maklumat Pemerintah tanggal 14 November 1945. Akibatnya, kekuasaan pemerintahan
bergeser dari tangan presiden kepada menteri atau menteri-menteri . setiap
undang-undang yang dikeluarkan harus terdapat tanda tangan menteri (contra seign ministry ). Dengan demikian,
presiden tidak dapat di ganggu- gugat. Oleh karena itu, yang bertanggung jawab
dalam penetapan suatu undang-undang adalah
para menteri, baik sendiri-sendiri maupun bersama-sama.
Berdasarkan ketentuan-ketentuan
Konstitusi RIS 1949, dapat di simpulkan bahwa Konstitusi RIS 1949,
dipengaruhi oleh Montesquieu, namun
tidak menganut teori tersebut secara murni. Konstitusi RIS 1949 menganut
Pembagian Kekuasaan, sedangkan Montesquieu
menganjurkan Pemisahan kekuasaan. Selain itu, kekuasaan negara bukan hanya
terbagi dalam tiga kekuasaan/lembaga, tetapi terbagi dalam 6 lembaga negara.
Berikut ini keenam lembaga
negara sebagai alat-alat perlengkapan federal RIS, yaitu sebagai berikut.
a.
Presiden.
b.
Menteri-menteri.
c.
Senat.
d.
Dewan Perwakilan Rakyat.
e.
Mahkamah Agung Indonesia
f.
Dewan Pengawas keuangan.
Diantara badan-badan (
kekuasaan ) tersebut, terdapat hubungan yang bersifat kerja sama dan pengawasan. Pembagian kekuasaan yang
dimaksudkan itu adalah sebagai berikut.
a.
Kekuasaan pembentukan
perundang-undangan ( legislatif ) yang di jalankan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR dan senat .
b.
Kekuasaan melasanakan
perundang-undangan atau pemerintahan
negara (eksekutif ) yang dilakukan oleh pemerintah.
c.
Kekuasaan mengadili
pelanggaran perundang-undangan (yudikatif
oleh Mahkamah Agung ).
Menurut
Konstitusi RIS 1949 bahwa kekuasaan pembentukan perundang-undangan federal
dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR dan senat terhadap
undang-undang yang isinya melibatkan beberapa negara/daerah bagian atau antara
pemerintah federal dengan negara/daerah bagian. Untuk undang-undang yang isinya
di luar itu, cukup dilakukan oleh pemerintah bersama-sama dengan DPR.
Oleh
karena itu, agar suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat maka harus
disetujui oleh DPR dan senat serta disahkan oleh pemerintah. Dalam hal
pengesahan ini suatu undang-undang selain ditandatangani oleh presiden juga
ditandatangani oleh menteri yang bertanggung jawab terhadap materi
undang-undang tersebut.
Dengan
demikian, pemerintah, Dewan Perwakilan Rakyat, dan senat dalam melaksanakan
kekuasaan legislatif harus bekerja sama, Demikian pula pemerintah, dalam
melaksanakan kekuasaan pemerintahan harus benar-benar memperhatikan suara Dewan
Perwakilan Rakyat . jadi, dalam hal ini antara pemerintahan dan DPR dan senat
terdapat hubungan yang bersifat kerja
sama.
Mahkamah
Agung berfungsi sebagai penilai masalah
penerapan atau pelanggaran hukum dan peradilan tingkat kasasi. Kedudukan
Mahkamah Agung sebagai pengadilan federasi tinggi yang berwenang melakukan
pengawasan tertinggi atas perbuatan-perbuatan, baik pengadilan federal maupun
pengadilan negara/daerah bagian. Di samping itu, Mahkamah Agung berhak memberi
nasihat kepada presiden yang berkenaan dengan pemberian grasi atau hukuman yang
telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Konstitusi
RIS yang bersifat liberal federalistik tidak sesuai dengan semangat Proklamasi
Kemerdekaan 17 agustus 1945, Pancasila, dan kepribadian bangsa Indonesia. Oleh
karena itu,muncullah berbagai reaksi dan unjuk rasa dari negara-negara bagian
menuntut pembubaran negara RIS dan kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia. Atas desakan itu maka
tanggal 8 Maret 1950, Pemerintah Federal mengeluarkan Undang-Undang Darurat
Nomor 11 Tahun 1950, yang isinya mengatur tata cara perubahan susunan
kenegaraan RIS. Dengan adanya undang-undang tersebut hampir semua negara bagian
RIS menggabungkan diri dengan negara Republik Indonesia yang berpusat di
Yogyakarta. Akhirnya, Negara RIS hanya memiliki tiga negara bagian, yaitu
Negara Republik Indonesia, Negara Indonesia Timur dan Negara Sumatera Timur.
Keadaan
itu mendorong negara RIS berunding
dengan RI untuk membentuk negara kesatuan. Pada 19 Mei 1950, dicapai
kesepakatan membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
dituangkan dalam sebuah piagam persetujuan. Disebutkan pula bahwa Negara
Kesatuan itu akan berdasarkan undang-undang dasar baru yang merupakan gabungan unsur-unsur
UUD 1945 dengan Konstitusi RIS yang menghasilkan UUDS 1950. Negara Kesatuan RI
secara resmi berdiri pada tanggal 17 Agustus 1950 dan Ir. Soekarno terpilih
sebagai Presiden dan Drs. Mohammad Hatta sebagai Wakil Presiden. Sejak saat itu
pula pemerintah menjalankan pemerintahan dengan menggunakan UUDS 1950.
3. Periode UUDS 1950
Bentuk
negara yang dianut Negara Indonesia pada masa berlakunya bentuk UUDS 1950
adalah negara kesatuan. Hal tersebut ditegaskan dalam pasal 1 ayat 1 UUDS 1950
yang berbunyi, “Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat ialah negara
hukum yang demokratis dan berbentuk kesatuan”.
Bentuk
negara kesatuan merupakan kehendak rakyat Indonesia. Hal ini dikemukakan dalam
UU No. 7 Tahun 1950. Selain itu, pada bagian Mukaddimah UUDS 1950 alinea 4
disebutkan : “Maka demi ini kami menyusun kemerdekaan kami itu dalam suatu
Piagam Negara yang berbentuk Republik Kesatuan...”
Sistem
pemerintahan yang dianut oleh UUDS 1950 adalah sistem pemerintahan parlementer.
Dengan demikian, sistem pemerintahan yang digunakan pada masa Konstitusi RIS
1949 masih dipertahankan oleh UUDS 1950. Sebagai dasar hukum UUDS 1950 mengatur
sistem pemerintahan parlementer, dapat dilihat pada ketentuan-ketentuan berikut
ini.
Dalam
pasal 45 disebutkan “Presiden ialah Kepala Negara”. Karena presiden sebagai
kepala negara, ia tidak dapat diminta pertanggung jawaban atas pelaksanaan
pemerintahan. Pernyataan pasal 45 tersebut kemudian dipertegas oleh pasal 83
ayat 1 dan 2 yang berbunyi :
(1)
Presiden dan Wakil
Presiden tidak dapat diganggu gugat;
(2)
Menteri-menteri
bertanggung jawab atas seluruh kebijaksanaan pemerintah, baik bersama-sama
untuk seluruhnya, maupun masing-masing untuk bagiannya sendiri-sendiri.
Berdasarkan
pasal tersebut, jelaslah bahwa yang bertanggung jawab atas seluruh
kebijaksanaan pemerintah adalah menteri-menteri. Menteri-menteri tersebut harus
bertanggung jawab atas kebijakannya kepada parlementer DPR.
Ketentuan
lain yang menunjukkan bahwa UUDS 1950 menganut sistem pemerintahan parlementer
adalah pasal 84, yang berbunyi : “Presiden berhak membubarkan Dewan Perwakilan
Rakyat”. Keputusan presiden yang menyatakan pembubaran itu, memerintahkan pula
untuk mengadakan pemilihan DPR baru dalam 30 hari.
Masa
berlakunya UUDS 1950 diisi dengan jatuh bangunnya kabinet sehingga pemerintahan
tidak stabil. Hal tersebut disebabkan oleh hal-hal berikut.
a.
Adanya sistem pemerintahan
parlementer yang disertai sistem multipartai (banyak partai).
b.
Perjuangan partai-partai
politik hanya untuk berkepentingan golongan atau partainya.
c.
Pelaksanaan sistem
demokrasi yang tidak sehat.
Oleh
karena itu, baik UUD RIS maupun UUD 1950 menggunakan Pancasila sebagai dasar
negara hanya dalam ketentuan formal, sedangkan jiwa kekeluargaannya belum mampu
dilaksanakan secara operasional.
Pada
masa berlakunya UUDS 1950, kekuasaan-kekuasaan negara dipegang oleh beberapa
alat perlengkapan negara. Hal ini berarti kekuasaan dalam negara tidak dipegang
atau dipusatkan pada satu badan atau lembaga.
Berdasarkan
Pasal 44 UUDS 1950, alat-alat perlengkapan negara adalah sebagai berikut :
a.
Presiden dan Wakil
Presiden;
b.
Menteri-menteri;
c.
Dewan Perwakilan Rakyat;
d.
Mahkamah Agung;
e.
Dewan Pengawas Keuangan.
Sebagaimana
undang-undang dasar sebelumnya, dalam UUDS 1950 pun menganut ajaran pembagian
kekuasaan. Hal ini terbukti dengan ditentukannya badan-badan yang memegang
ketiga kekuasaan tersebut.
a.
Kekuasaan pemerintah
negara (eksecutive power) dilakukan oleh dewan menteri.
b.
Kekuasaan
perundang-undangan (legislative power) dilakukan oleh pemerintah bersama-sama
dengan DPR.
c.
Kekuasaan kehakiman
(yudicative power) dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Sesuai
dengan sistem parlementer yang dianut oleh UUDS 1950, kekuasaan pemerintah
negara (eksekutif) dilakukan sepenuhnya oleh dewan menteri sehingga
kebijaksanaan pemerintah dipertanggung jawabkan oleh dewan menteri kepada DPR.
Namun, mereka juga harus memperhatikan kebijaksanaan presiden/kepala negara.
Begitu pula mengenai hal-hal yang penting atau menyangkut kepentingan nasional,
dewan menteri baik secara kolektif maupun sendiri-sendiri berkewajiban
memberitahukan kepada presiden.
Kekuasaan
perundang-undangan (legislatif) dilakukan oleh pemerintah bersama Dewan
Perwakilan Rakyat, kecuali dalam perubahan undang-undang dasar. Dewan
Perwakilan Rakyat mempunyai hak untuk mengajukan rancangan undang-undang.
Selama masa berlakunya Undang-Undang Dasar Sementara 1950, hak tersebut pernah digunakan
oleh DPR sebanyak delapan kali. Dengan demikian, pemerintah (presiden dan
menteri-menteri) dan DPR harus bekerja sama dibidang legislatif karena setiap
undang-undang harus memperoleh persetujuan DPR dan pengesahan pemerintah.
Pengesahan
pemerintah dilakukan dengan cara menandatangani undang-undang oleh presiden dan
menteri yang bersangkutan dengan menteri undang-undang. Jadi dapat dikatakan
bahwa antara pemerintah dan DPR terdapat hubungan yang bersifat kerja sama.
Bidang
yudikatif sepenuhnya dilaksanakan oleh Mahkamah Agung. Menurut pasal 105 ayat 1
dan 2 UUDS 1950. Mahkamah Agung adalah pengadilan negara tertinggi yang
bertugas melakukan pengawasan tertinggi atas perbuatan pengadilan-pengadilan
lain, berdasarkan aturan-aturan yang ditetapkan dengan undang-undang. Di
samping itu, Mahkamah Agung dapat memberi nasihat kepada presiden berkenaan
dengan pemberian grasi atas hukuman yang telah dijatuhkan oleh pengadilan.
Dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden pada 5 Juli 1959, berlakulah kembali UUD 1945
sebagai landasan konstitusional pemerintahan Republik Indonesia. Pada masa itu
demokrasi liberal yang di praktikkan pada masa berlakunya UUDS 1950 tidak
dipergunakan sistem Demokrasi Terpimpin.
UUDS
1950 pun menganut sistem pemerintahan kabinet parlementer. Hal ini tampak jelas
dari pasal 83 UUDS 1950 yang menyebutkan ketentuan sebagai berikut.
Ayat
1. Presiden dan Wakil Presiden tidak dapat diganggu gugat.
Ayat
2. Menteri-menteri bertanggung jawab atas keseluruhan kebijaksanaan pemerintah,
baik bersama-sama untuk keseluruhan maupun masing-masing untuk bagiannya
sendiri-sendiri.
Kemudian
pasal 84 UUDS 1950, menyatakan bahwa : “Presiden berhak membubarkan Dewan
Perwakilan Rakyat”, dengan ketentuan harus mengadakan pemilihan Dewan
Perwakilan Rakyat baru dalam 30 hari.
UUDS
1950 inipun bersifat sementara yang ditegaskan dalam pasal 134 bahwa,
“Konstituante bersama-sama pemerintah selekas-lekasnya menetapkan Undang-Undang
Dasar Sementara ini”.
Badan
Konstituate yang diserahi tugas membuat undang-undang dasar baru tetap tidak
dapat menjalankan tugasnya dengan baik. Keadaan ini memancing berkembangnya
persaingan politik yang membawa akibat luas dalam berbagai tata kehidupan
masyarakat dan bangsa Indonesia. Situasi gawat itu mendorong presiden
mengajukan konsepsinya mengenai sistem Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali
ke UUD 1945. Konsepsi itu disampaikan didepan sidang pleno DPR hasil Pemilu
tahun 1955.
Perdebatan
terus berlarut-larut tanpa menghasilkan suatu keputusan penting, sementara
keadaan negara semakin gawat dan tidak terkendali yang mengancam persatuan dan
kesatuan bangsa negara Indonesia. Keadaan itu mendorong Presiden Soekarno
menggunakan wewenangnya, yakni dengan mengeluarkan Dekrit Presiden tanggal 5
Juli 1959, yang berisi :
a.
Pembubaran Badan
Konstituante;
b.
Memberlakukan kembali UUD
1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950;
c.
Pembentukan MPR dan DPA
sementara.
4. Periode Berlakunya Kembali
UUD 1945
a.
Periode Orde Lama (5 Juli
1959 – 11 Maret 1966)
Para pembentuk UUDS 1950
sejak semula menyebutkan bahwa UUD tersebut masih bersifat sementara. Hal ini
ditegaskan dalam pasal 134 yang berbunyi : “Konstituante (Sidang Pembuat
Undang-Undang Dasar) bersama-sama dengan Pemerintah selekas-lekasnya menetapkan
UUD Republik Indonesia yang akan menggantikan UUDS ini”.
Mengingat UUDS 1950 masih
bersifat sementara, maka harus ada UUD yang tetap yang akan ditetapkan oleh
Konstituate bersama-sama dengan pemerintah.
Berdasarkan UUDS 1950,
pembentukan anggota-anggota Konstituate harus diperoleh melalui pemilihan umum.
Pemilihan umum untuk anggota Konstituante tersebut, baru dapat diselenggarakan
pada bulan Desember 1955. Pada 10 November 1956, sidang pertama konstituante
dibuka di Bandung oleh Presiden Soekarno. Pada saat itu Presiden Soekarno untuk
kali pertama memperkenalkan istilah Demokrasi Terpimpin.
Rakyat dan pemerintah
sangat berharap Konstituante dapat membentuk UUD baru dengan segera. Dengan
munculnya UUD baru diharapkan dapat mengubah tatanan kehidupan politik yang
dinilai kurang baik.
Lebih dari dua tahun
bersidang, Konstituante belum berhasil merumuskan rancangan UUD baru. Ketika,
itu perbedaan pendapat yang telah menjadi perdebatan didalam gedung
Konstituante mengenai dasar negara telah menjalar keluar gedung Konstituante,
sehingga diperkirakan akan menimbulkan ketegangan politik dan fisik di kalangan
masyarakat.
Perdebatan-perdebatan
dikalangan anggota Konstituate tentang dasar negara sulit untuk diselesaikan.
Sehubungan dengan itu, pada bulan Maret 1959 pemerintah memberikan keterangan
dalam sidang pleno DPR mengenai Demokrasi Terpimpin dalam rangka kembali kepada
UUD 1945. Perdana Menteri Djuanda menegaskan bahwa usaha untuk kembali kepada
UUD 1945 itu harus dilakukan secara konstituante untuk menetapkan UUD 1945
sebagai UUD Negara Republik Indonesia.
Mengingat suhu politik
yang semakin “memanas”, pada 22 April 1959 Presiden Soekarno menyampaikan
amanat kepada Konstituante. Amanat tersebut memuat anjuran kepala negara dan
pemerintah untuk kembali ke UUD 1945. Disamping itu, menegaskan pula
pokok-pokok Demokrasi Terpimpin, yaitu sebagai berikut.
1)
Demokrasi Terpimpin
bukanlah diktator, berlainan dengan Demokrasi Sentralisme dan berbeda pula
dengan Demokrasi Liberal yang dipraktikkan selama ini.
2)
Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi yang cocok dengan kepribadian dan dasar hidup bangsa Indonesia.
3)
Demokrasi Terpimpin adalah
demokrasi di segala soal kenegaraan dan kemasyarakatan yang meliputi
bidang-bidang politik dan sosial.
4)
Inti dari pimpinan dalam
Demokrasi Terpimpin adalah pemusyawaratan yang “dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan, bukan oleh penyiasatan dan perdebatan yang diakhiri dengan
pengaduan kekuatan dan perhitungan suara pro dan kontra”.
5)
Oposisi dalam arti
melahirkan pendapat yang sehat dan yang membangun diharuskan dalam alam
Demokrasi Terpimpin.
6)
Demokrasi Terpimpin
merupakan alat, bukan tujuan.
7)
Tujuan melaksanakan
Demokrasi Terpimpin ialah mencapai sesuatu masyarakat yang adil dan makmur,
yang penuh dengan kebahagiaan materil
dan spiritual, sesuai dengan cita-cita proklamasi 17 Agustus 1945.
8)
Sebagai alat, Demokrasi
Terpimpin mengenal juga kebebasan berpikir dan berbicara, tetapi dalam
batas-batas tertentu.
Pada
dasarnya, saran untuk kembali kepada UUD 1945 tersebut dapat diterima oleh para anggota Konstituate, namun dengan pandangan yang
berbeda. Pertama, menerima saran untuk kembali kepada UUD 1945 secara utuh.
Kedua, menerima untuk kembali kepada UUD 1945 tetapi dengan amandemen, yaitu
sila ke satu Pancasila seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 harus
diubah dengan sila ke satu Pancasila seperti tercantum dalam Piagam Jakarta. Adapun
prosedur untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana diputuskan
oleh Kabinet Karya adalah sebagai berikut :
1)
Setelah terdapat kata
sepakatantara Presdiden dan Dewan Menteri maka pemerintah minta supaya diadakan
sidang pleno Konstituante.
2)
Atas nama pemerintah,
disampaikan oleh presiden amanat berdasarkan pasal 134 Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 kepada Konstituante yang berisi “anjuran” supaya Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia 1945 ditetapkan.
3)
Jika anjuran itu diterima
oleh Konstutuante, pemerintah atas ketentuan pasal 137 Undang-Undang Dasar
Sementara 1950 mengumumkan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 itu
dengan keluhuran. Pengumuman dengan keluhuran itu dilakukan dengan suatu piagam
yang ditanda tangani dalam suatu sidang pleno Konstituante di Bandung oleh
presiden, para menteri, dan para anggota Konstituante, yang antara lain memuat
Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945.
Setelah
melalui berbagai macam usaha, Konstituante tidak dapat mengambil keputusan
untuk menerima anjuran tersebut. Hal ini sah-sah saja mengingat kewenangan
untuk mempersiapkan dan membentuk undang-undang dasar ada di tangan
Konstituante, sedangkan pemerintah yang melandaskan pada pasal 137 hanya
berwenang mengesahkan dan mengumumkan.
Langkah
yang dilakukan oleh pemerintah bisa dianggap sebagai bentuk intervensi
kewenangan dalam membentuk UUD. Berdasarkan kondisi itulah maka presiden
mengeluarkan dekrit pada 5 Juli 1959 yang pada intinya menegaskan untuk kembali
kepada UUD 1945 dan membubarkan Konstituante.
Dengan
Pemberlakuan kembali UUD 1945 dan mengingat lembaga-lembaga negara belum
lengkap maka dilakukan beberapa langkah sebagai berikut.
1)
Pembaruan susunan Dewan
Perwakilan Rakyat melalui Penetapan Presiden No. 3 Tahun 1960.
2)
Penyusunan Dewan
Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPRGR) dengan Penetapan Presiden No. 4 Tahun
1960. Dalam Pasal ditentukan bahwa anggota-anggota Dewan Perwakilan Rakyat
diberhentikan dengan Hormat dari jabatannya terhitung mulai tanggal pelantikan
Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong oleh presiden.
3)
Untuk melaksanakan Dekrit
Presiden, Presiden mengeluarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959 tentang
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
4)
Penyusunan Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan Penetapan Presiden No. 12 Tahun 1960.
5)
Dikeluarkan Penetapan
Presiden No. 3 Tahun 1959 tentang Dewan Pertimbangan Agung Sementara.
Ditinjau
dari aspek konstitusional, langkah-langkah penyusunan DPRGR dan MPRS yang
dilakukan dengan Penetapan Presiden jelas menyimpang dari UUD 1945 yang berlaku
berdasarkan Dekrit Presiden. Apalagi langkah seperti ini terlebih dahulu
diawali dengan pembubaran Dewan Perwakilan Rakyat hasil Pemilihan umum berdasarkan
Undang-Undang No. 7 Tahun 1953. Lain daripada itu, dalam sistematika UUD 1945
produk hukum (perundang-undangan) yang berbentuk Penetapan Presiden sama sekali
tidak dikenal. Oleh sebab itu langkah-langkah yang diambil oleh presiden dalam
rangka melaksanakan Demokrasi Terpimpin dan kembali ke UUD 1945 justru
merupakan langkah-langkah yang menyalahi konstitusi. Bahkan dalam melakukan
langkah-langkah ini presiden melandaskan pada pasal IV aturan Peralihan UUUD
1945, juga masih belum dapat dikategorikan bersifat konstitusional, sebab Dewan
Perwakilan Rakyat sudah terbentuk melalui Pemilu tahun 1955.
Dengan
demikian sejak berlakunya kembali UUD 1945 berdasarkan Dekrit Presiden 5 Juli
1959, ketentuan-ketentuan yang terdapat di dalam UUD 1945 belum dapat dilaksanakan
secara murni dan konsekuen.
Banyak
penyimpangan yang telah terjadi antara lain sebagai berikut.
1)
Lembaga-lembaga negara
seperti MPR, DPR, DPA belum dibentuk berdasarkan undang-undang. Lembaga-lembaga
negara ini masih bersifat sementara
2)
Pengangkatan presiden
Soekarno sebagai presiden seumur hidup melalui ketetapan MPRS No.
III/MPRS/1963. Ketetapan ini melanggar ketentuan pasal 7 UUD 1945 yang
tegas-tegasnya menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatannya
selama masa 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali.
Sejarah Indonesia mencatat bahwa
penyimpangan-penyimpangan konstitutional ini mencapai puncaknya dibidang
politik dan peristiwa gerakan 30 September 1965. Peristiwa ini masih menjadi
perdebatan sampai saat ini. Sejarah mengenai peristiwa gerajan 30 September
1965 masih menyimpan berbagai misteri. Banyak ahli sejarah dan bahkan pelaku
sejarah yang mencoba melakukan penelusuran kembali, akan tetapi sayang banyak
dokumen yang hilang.
Terlepas dari kebenaran dari masing-masing
versi tersebut, yang jelas peristiwa 30 September 1965 telah menimbulkan
kekacauan sosial budaya dan instabilitas pemerintahan serta meninggalkan “sejarah hitam” dalam peta politik dan hukum
ketatanegaraan Indonesia. Puncak dari peristiwa seperti ini adalah jatuhnya
legitimasi presiden Soekarno dalam memegang tampuk kekuasaan negara. Letimasi
itu semakin terpuruk dengan dikeluarkannya surat perintah 11 maret 1966
(Supesemar) yang pada hakikatnya merupakan perintah dan presiden kepada Letnan
Jendral Soeharto untuk mengambil segala tindakan dalam menjamin keamanan dan
ketentraman serta stabilitas jalannya pemerintahan. Keberadaan supersemar itu
sendiri sampai sekarang masih misterius. Bahkan, penerbitan surat perintah
seperti ini juga masih memunculkan berbagai kontroversi. Kemudian dengan
ketetapan MPRS No. IX MPRS 1966, Surat Perintah 11 Maret 1966 dikukuhkan dengan
masa berlaku sampai terbentuknya MPR RI hasil pemilihan umum yang akan datang.
Oleh karena pemilihan umum yang sedianya
akan diselenggarakan pada 5 Juli 1968 tertunda sampai 5 Juli 1971 dan mengingat
telah dikeluarkannya ketetapan MPRS No. XXXIII/MPRS/1967 tentang Pencabutan
Kekuasaan Pemerintahan Negara Dari Tangan Presiden Soekarno. Demi terciptanya
kepimpinan nasional yang kuat dan terselenggaranya kestabilan politik, ekonomi
dan hankam dikeluarkanlah Ketetapan MPRS No. XLIV/MPRS/1968 tentang
pengangkatan pengemban ketetapan majelis permusyawaratan rakyat sementara No.
IX/MPRS/1966 sebagai presiden republik Indonesia, yang antara lain menyatakan :
“Mengangkat jenderal Soeharto sebagai presiden republik Indonesia sampai
terpilihnya presiden oleh MPR hasil pemilihan umum”
b.
Periode
Orde Baru (11 Maret – 21 Mei 1998)
Setelah turunnya Presiden
Soekarno dari tampuk kepresidenan, maka berakhirlah orde lama. Kepimpinan
disahkan kepada jenderal Soeharto mulai memegang kendali pemerintahan dan
menanamkan era kepemimpinan sebagai orde baru. Diera ini konsentrasi
penyelenggaraan sistem pemerintahan dan kehisupan demokrasi menitikberatkan
kepada aspek kestabilan politik dalam rangka menunjang pembangunan nasional.
Untuk mencapai titik tolak tersebut, dilakukanlah upaya-upaya pembenahan sistem
ketatatnegaraan dan format politik yang pada prinsipnya mempunyai sejumlah sisi
yang menonjol yaitu :
1)
Adanya konsep dwi fungsi
ABRI;
2)
Pengutamaan Golongan
Karya;
3)
Magnifikasi kekuasaan
ditangan eksekutif;
4)
Diteruskannya sistem
pengangkatan dalam lembaga-lembaga perwakilan rakyat;
5)
Kebijaksanaan depolitisasi
khususnya masyarakat pedesaan melalui konsep massa mengambang (floating mass);
6)
Kontrol atas kehidupan
pers.
Konsep Dwi fungsi ABRI
pada masa itu secara implisit sebenarnya sudah dikemukakan oleh kepala staff
angkatan darat, Mayjen A.H. Nasution, tahun 1958 yaitu dengan konsep “jalan
tengah”. Prinsipnya menegaskan bahwa peran tentara, tidak terbatas pada tugas
profesional militer belaka, melainkan juga mempunyai tugas-tugas dibidang
sosial politik. Dengan konsep seperti inilah dimungkinkan dan bahkan menjadi
semacam kewajiban jikalau militrer berpartisipasi dibidang politik. Penerapan
konsepsi ini, menurut penafsiran militer dan penguasaan orde baru memperoleh
landasan urigis konstitusional didalam pasal 2 ayat 1 UUD 1945 yang menegaskan
“ Majelis Permusyawaratan rakyat terdiri atas anggota-anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, ditambah dengan utusan-utusan dari daerah-daerah dan golongan-golongan,
menurut keaturan yang ditetapkan dengan undang-undang”
Dengan
demikian dibidang politik militer (TNI/POLRI), memperoleh jatah
dilembaga-lembaga politik (DPR dan MPR) melalui proses penunjukkan dan
pengangkatan. Artinya, militer secara otomatis akan memperoleh jatah
keanggotaan dilembaga-lembaga tersebut tanpa melalui proses pemilihan umum.
Kondisi seperti ini menunjukkan adanya paradigma ketatanegaraan yang tidak
lazim dikenal didalam negara demokrasi.
Dibidang
kepartaian, pada 27 Februari 1970, presiden Soeharto mengadakan konsultasi dan
parpol-parpol guna membahas gagasan untuk mengelompokkan partai-partai politi
yang ada. Gagasan tersebut akhirnya diarealisasikan dalam pemilihan umum 1977.
Pada pemilu tersebut terdapat 3 kakuatan sosial politik, yaitu 2 partai politik
(PDI dan PPP) dan satu Golkar. Keberadaan ketiga kekuatan sosial politik ini
kemudian diperkuat dengan keluarnya undang-undang no. 3 tahun 1975 tentang
partai politik dan golongan karya. Dengan UU inilah dalam kurun waktu lebih
kurang 32 tahun konstelasi politik Indonesia hanya membatasi adanya 2 partai
politik dan Golkar sebagai kekuatan sosial politik yang sah berhak hidup
dinegara kesatuan republik Indonesia.
Sejarah
menunjukkan bahwa dalam setiap pemilihan umum, yang diselenggarakan orde baru,
Golkar selalu berhasil menjadi single majority,
dan setiap pemilihan presiden RI, Soeharto selalu dapat terpilih kembali
secara aklamasi kondisi semacam ini mengakibatkan adanya dua fenomena
ketatanegaraan indonesia. Pertama sistem ketatanegaraan yang di jalankan pada
waktu itu lebih menekankan pada kestabilan politik dan memang berhasil. Kedua,
terjadi pemasungan hak-hak politik bagi warga negara, khususnya dalam hal
berserikat dan berkumpul untuk mengeluarkan pendapat baik tertulis maupun
lisan.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa orde baru memang berhasil dalam mewujudkan stabilitas
politik. Pembangunan dapat berjalan secara bertahap berkelanjutan. Tingkat
pertumbuhan ekonomi rata-rata 7%. Indonesia telah mampu berswasembada pangan.
Indikator-indikator inilah yang dipergunakan untuk menilai keberhasilan orde
baru. Akan tetapi, sebaliknya dilingkungan infrastruktur politik, telah terjadi
pembelengguan hak politik bagi warga negara. Puncak dari kesadaran semacam ini
adalah terjadinya garakan reformasi sebagai akibat adanya krisis multi
dimensional pada akhir 1997 dan awal 1998. Kemudian karena krisis multi
dimensional tersebut tidak dapat terselesaikan dengan segera diawali dengan
terjadinya kerusuhan tanggal 13-14 Mei 1998 presiden soeharto meletakkan
jabatannya pada 20 Mei 1998 dan digantikan oleh wakil presiden B.J Habibie.
Penggantian
jabatan tersebut menurut sementara pihak merupakan langkah konstitusional,sebab
pasal 8 UUD 1945 telah menagaskan bahwa “ jika presiden mangkar, berganti, atau
tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatannya,ia digantikan oleh
wakil presiden sampai habis waktunya.” Namun dipihak yang lain, proses
penggantian tersebut dianggap inkonstitusional. Bagi pihak yang menganggap
pergantian tersebut adalah inkonstitusional, dilandasi oleh adanya anggapan
bahwa proses pegantian tersebut tidak ditandai dengan penyerahan kembali mandat
yang diterima oleh Soeharto kepada MPR.
Dalam
teori perundang-undangan dikenal adanya dua jenis Ketetapan MPR jika ditinjau
dari sifatnya, yaitu Ketetapan MPR yang bersifat perundang-undangan dan
Ketetapan MPR yang bersifat bukan perundang-undangan. Ketetapan MPR yang
memberikan mandat presiden, pada hakikatnya tidak dapat dikatagorikan bersifat
perundang-undangan. Hal ini mengingat suatu produk hukum disebut
perundang-undangan, kalau bersifat dan mengikat umum. Ketetapan tersebut
sifatnya kongkrit, individual, dan final. Oleh sebab itu, ketetapan MPR yang
mengangkat Soeharto sebagai Presiden bisa dikatakan mirip dengan Ketetapan Tata
Usaha Negara. Berdasarkan sifat seperti itulah, peralihan Jabatan Presiden dari
Soeharto kepada Wakil Presiden (B. J. Habibie) harus diawalin dengan penyerahan
mandat ( Ketetapan MPR ) terlebih dahulu. Pendek kata mandat sebagaimana
digariskan oleh Ketetapan MPR tidak dapat dialihkan begitu saja. Walaupun
demikian, pemerintahan tetap jalan dengan mengangkat B.J. Habibie sebagai
Presiden RI ketiga.
5. Periode Reformasi
Setelah “tumbangnya” Orde
Baru maka dimulailah pentahapan konsolidasi sistem demokrasi di Indonesia.
Konsolidasi tersebut antara lain adalah melakukan perubahan dan penggantian
berbagai peraturan perundang-undangan yang dirasa tidak memberikan ruang bagi
kehidupan demokrasi dan prinsip-prinsip kedaulatan rakyat. Adapun peraturan
perundang-undangan yang mengalami perubahan atau penggantian bahkan dihilangkan
dalam kehidupan ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai berikut.
a.
Ketetapan MPR
No,IV/MPR/1983 tentang Referendum.
b.
Undang-Undang No. 5 tahun
1985 tentang Referendum.
c.
Undang-Undang di bidang
politik (UU Susduk MPR/DPR/DPRD,UU Pemilihan Umum, UU Partai politik dan
Golongan Karya ). Undang-undang ini kemudian diganti dengan Undang-undang No. 4
Tahun 1999 tentang Susduk MPR/DPR/DPRD, UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai
Politik, dan UU No.3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.
d.
Undang-Undang No. 5 Tahun
1974 tentang pemerintahan di Daerah, diganti dengan Undang-Undang No. 22 Tahun
1999 dan Undang-Undang No. 25 Tahun 1999 yang sering disebut sebagai Undang-undang
tentang Otonomi Daerah.
Gerakan
reformasi yang dipelopori oleh mahasiswa Indonesia mencapai puncak dengan
mundurnya Presiden Soeharto dari tampuk kepemimpinan nasional pada 20 Mei 1998.
Selama Presiden Soeharto memegang tampuk kekuasaan pemerintahan negara dengan
akulumasi tenggang waktu lebih kurang 30 tahun, sistem pemerintahan Indonesia
mengarah kepada supremasi eksekutif. Artinya, kekuasaan Presiden RI telah
merambah ke tiga cabang kekuasaan lain dan bahkan secara politis cabang-cabang
utama kekuasaan, seperti DPR dan MPR telah terkooptasi oleh kepentingan dan
kehendak presiden. Model supremasi eksekutif ini mengakibatkan langgam politik
ketatanegaraan Indonesia justru mengarah pada pola otoriterisme.
Kondisi
semacam inilah yang mengakibatkan akuntabilitas penyelenggaraan pemerintahan
menjadi lemah, sehingga kontrol terhadap pelaksanaan pemerintah menjadi tidak
berjalan. Akibat dari kesemuanya itu adalah krisis multidimensional yang
dialami oleh Indonesia dipertengahan tahun 1997 tidak dapat tertanggulangi.
Bahkan, keterpurukan moralitas penyelenggaraan negara melalui apa yang disebut
Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme ( KKN ) menjadi faktor pendukung utama
keterpurukan Indonesia di bidang ekonomi, politik, hukum, dan sosial budaya.
Gerakan
reformasi yang dikumandakan oleh mahasiswa Indonesia tersebut, sejatinya
bukanlah merupakan gerakan yamg berdiri sendiri. Gerakan ini pada hakikatnya
merupakan imbas dari gerakan-gerakan demokrasi yang berkembang di belahan dunia
lain yang oleh samuel P. Huntington dikatakan sebagai efek “bola salju”.
Berkaitan dengan hal inilah. Samuel P.
Huntington mengemukakan bahwa proses demokratisasi pada umumnya melalui
tiga periode, yakni periode pengakhiran rezim non demokrasi, pengukuhan rezim
demokrasi, dan pengkonsolidasian sistem yang demokrasi.
Bertitik
tolak dari gambaran tersebut, Reformasi Indonesia yang utama adalah menuju
tatanan kehidupan ketatanegaraan yang demokratis dapat dilihat dari ketiga
periode sebagaimana dikemukakan oleh Huntington. Ketiga periode yang dimaksud
adalah pertama, pengakhiran rezim nondemokratis, yakni ditandai dengan tumbangnya
kekuasaan Presiden Soeharto sebagai akibat ketidakmampuannya dalam
mempertahankan legitimasi di hadapan masa rakyat dan mahasiswa. Kedua,
pengukuhan rezim demokratis yang ditandai dengan dilaksanakannya Pemilu tahun
1999 dengan sistem multipartai. Dalam pemilu ini telah dihasilkan DPR dan MPR
dengan komposisi yang relatif heterogen dan tidak ada satupun partai politik
yang menduduki kursi mayoritas di kedua lembaga tersebut. Dalam periode ini
pula telah terpilih presiden dan wakil presiden yang memang sejak semula
dianggap demokratis dan populis, yakni Abdurrahman
“Gus Dur” Wahid, sebagai Presiden dan Megawati
Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden. Ketiga periode konsolidasi sistem
demokratis ditandai dengan adanya pembenahan struktur ketatanegaraan Indonesia,
misalnya dengan dibentuknya Paket UU dibidang Politik, UU No. 22 Tahun 1999
diganti dengan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan yang paling
penting adalah dilakukannya amandemen terhadap UUD 1945 oleh MPR melalui
Panitia Ad Hoc I MPR-RI. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa proses
amandemen UUD 1945 merupakan sarana untuk melaksanakan konsolidasi sistem
demokrasi.
Didalam
amandemen UUD 1945 tersebut, antara lain ditegaskan bahwa sistem Pemerintahan
Presidensial akan tetap dipertahankan dan bahkan diperkuat melalui mekanisme
pemilihan presiden dan wakil presiden secara Langsung. Terkait dengan penegasan
sistem pemerintahan negara Indonesia, pasal-pasal dari UUD 1945 yang terkait
dengan hal tersebut dan telah diamandemen untuk pertama kali adalah sebagai
berikut.
a.
Pasal 5 ayat 1 menegaskan
“Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada Dewan Perwakilan
Rakyat”. Pasal ini dulunya berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk
Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat". Pasal ini
dulunya berbunyi “Presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang
dengan persetujuan Dewan Perwakilan
Rakyat”.
b.
Pasal 7 menegaskan :
“Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan yang selama lima tahun dan
sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali
masa jabatan”. Pasal ini merupakan bentuk perubahan yang sangat signifikan dari
ketentuan yang sebelum diamandemen yang menegaskan: “Presiden dan Wakil
Presiden memegang jabatannya selama masa lima tahun, dan sesudahnya dapat
dipilih kembali”.
Perubahan
ini dikatakan cukup signifikan karena sebelum pasal tersebut dilakukan
perubahan, pasal tersebut menjadi dasar konstitutional bagi Presiden Soeharto
untuk dipilih berulang kali sehingga total waktu yang dipergunakan oleh
Presiden Soeharto untuk memangku jabatan Presiden menjadi kurang lebih 30
tahun. Suatu akumulasi masa jabatan yang luar biasa panjang.
c.
Pasal 17 ayat 2 menyatakan
: “Menteri-menteri diangkat dan di berhentikan oleh Presiden”.
d.
Pasal 20 ayat 1
menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat
memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang”.
Kendati
Pasal-pasal UUD 1945 yang suda diamandemen tersebut memberikan indikasi
pelaksanaan sistem presidensial, tetapi dalam praktik penyelenggaraan
ketatanegaraan Indonesia, sistem presidensial ini masih belum dilaksanakan
secara murni. Hal ini tampak jelas tertuang di dalam Tap MPR No. IV/MPR/1999
tentang Tata Cara Pencalonan dan pemilihan Presiden dan Wakil Presiden Republik
Indonesia. Di dalam pasal 8 menyatakan sebagai berikut.
a.
Fraksi dapat mengajukan
seorang Presiden.
b.
Calon presiden dapat juga
dianjukan oleh sekurang-kurangnya tujuh puluh orang anggota Majelis yang
terdiri atas satu fraksi atau lebih.
c.
Setiap anggota Majelis
hanya boleh menggunakan salah satu cara pengajuan Calon Presiden sebagaimana
disebutkan dalam ayat 1 dan 2 pasal ini.
Dengan memperhatikan
ketentuan seperti ini, tampak jelas bahwa pemilihan presiden tidak dilakukan
secara langsung, melainkan masih merupakan wewenang dari MPR melalui pengusulan
oleh anggota MPR maupun fraksi (sebagai perpanjang dari parpol peserta pemilu
). Ini berarti dalam hal rekruitmen kepala pemerintahan masih tetap
mempergunakan pola sistem parlementer.
Sistem pemerintahan parlementer ini semakin
menunjukkan eksitensinya ketika Presiden Abdurahaman “gus Dur” Wahid memperoleh
memorandum I, II, dan III oleh DPR karena dianggap terlibat dalam kasus
penyelewengan dana Bulog dan bantuan dari sultan Brunei. Kasus ini disebut
sebagai kasus “Buloggate” dan “Brunaigate.”
Akhir dari konflik eksekutif dan legislatif ini
mengakibatkan Presiden Gus Dur “dilengserkan” oleh MPR melalui keputusan pada
sidang Istimewa MPR tahun 2001. Perlu diketahui dalam sidang tersebut Presiden
Gus Dur tidak bersedia untuk hadir. Bahkan , Beliau berniat mengeluarkan suatu
Dekrit Presiden untuk memubarkan MPR dan DPR, dengan alasan menghadiri Sidang
Istimewa tersebut berarti bisa dianggap melanggar UUD 1945 mempergunakan sistem
presidensial, bukan parlementer.
Peristiwa ketatanegaraan tersebut, merupakan
peristiwa yang kedua setelah Sidang Istimewa MPRS pada tahun 1966 yang
berakibat jatuhnya kekuasaan Presiden Soekarno dari tampuk kepemimpinan
nasional. Presiden gus Dur selanjutnya digantikan oleh Wakil Presiden, Megawati
Soekarnoputri. Kemudian, dalam sidang Tahunan MPR tahun 2001, Megawati
Soekarnoputri diangkat menjadi Presiden dan didampingin oleh Hamzah Haz sebagai Wakil presiden.
Peristiwa-peristiwa ketatanegaraan Indonesia semacam ini masih mengindikasikan
bahwa sistem pemerintahan yang dilaksanakan dalam praktik penyelenggaraan
ketatanegaraan Indonesia adalah sistem parlementer.
Berdasarkan Sidang Tahunan MPR Tahun 2002, didalam
amandemen keempat UUD 1945 ditegaskan bahwa presiden dan wakil presiden, akan
dipilih secara langsung oleh rakyat. Dia tidak bertanggungjawab kepada Majelis
ynag terdiri atas dua kamar, yakni Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Daerah. Konstruksi semacam ini telah menghentikan konflik ketatanegaraan yang
selama ini mewarnai sistem pemerintahan di Indonesia. Di dalam Pasal 6A UUD
1945, antar lain ditegaskan sebagai berikut.
(1)
Presiden dan wakil
Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat.
(2)
Pasangan Calon Presiden
dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik
peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
(3) Pasangan
Colon Presiden dan Wakil Presiden yang mendapat suara lebih dari lima puluh
persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitnya dua puluh
persen suara di setiap provinsi yang tesebar di lebih dari setengah jumlah
provinsi di Indonesia, dilantik menjadi Presiden dan Wakil Presiden.
(4) Dalam hal tidak pasangan Calon Presiden dan
Wakil Presiden terpilih, dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dalam pemilihan umum dipilih oleh rakyat secara langsung dan
pasangan yang mempeoleh suara rakyat terbanyak dilantik sebagai pasangan
presiden dan Wakil Presiden.
(5) Tata Cara pelaksanaan pemilihan Presiden dan
Wakil Presiden lebih lanjut diatur dengan undang-undang.
Berdasarkan
ketentuan tersebut, presiden dan wakil presiden tidak lagi bertanggungjawab
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat, melainkan bertanggungjawab secara
langsung kepada rakyat. Berkaitan dengan hal ini, pasal 3 Ayat 3 amandemen UUD
1945 menegaskan bahwa “Majelis Permusyawaratan rakyat hanya dapat
memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya menurut
Undang-undang Dasar”. Menurut Pasal 7 A UUD 1945, pemberhentian presiden
dan/atau wakil presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat ini atas usul Dewan Perwakilan Rakyat, baik apabila
terbukti melakukan pelanggaran hukum yang berupa penghianatan terhadap negara,
korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela maupun
apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil
presiden.
Untuk mengusulkan pemberhentian presiden dan/atau
wakil presiden tersebut, Dewan Perwakilan Rakyat terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah konstitusi untuk memeriksa, mengadili, dan
memutuskan pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang adanya indikasi perbuatan
melanggar hukum yang dilakukan oleh presiden dan/ atau wakil presiden.
Sehubungan dengan hal ini, Pasal 7B UUD 1945 secara lengkap menyatakan sebagai
berikut.
(1)
Usul Pemberhentian
Presiden dan / atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan
permintaan kepada Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa, mengadili dan mengutus
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/ atau Wakil Presiden telah
melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap Negara, korupsi,
penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela dan/ atau
pendapat bahwa Presiden dan/ atau Wakil presiden tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan / atau Wakil Presiden.
(2)
Pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat bahwa presiden dan/ atau Wakil presiden telah melakukan pelanggaran
hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/
atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi pengawasan Dewan
Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan
Permintaan Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat
dilakukan dengan dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan
Perwakilan Rakyat yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Mahkamah Konstitusi wajib memeriksa,
mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya terhadap pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat tersebut paling lambat sembilan puluh hari setelah pemintaan Dewan
Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa
Presiden dan/ atau Wakil Presiden terbukti melakukan pelanggaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pindana berat
lainnya, atau perbuatan tercela, dan/ atau terbukti bahwa Presiden dan/atau
Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan atau Wakil
Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menuyelenggarakan sidang paripurna untuk
meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden kepada Majelis
Pemusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusab
Majelis Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil
Presiden harus diambil dalam rapat paripurna. Majelis Permusyawaratan Rakyat
yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya ¾ dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden dan/atau
Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat paripurna
Majelis Permusyawaratan Rakyat.
Berdasarkan mekanisme pertanggungjawaban tersebut, setelah UUD 1945 diamandemen, terdapat perubahan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia yang cukup fundamental. Perubahan tersebut dapat diilustrasikan sebagai berikut.
a.
Sistem pemerintahan negara
mempergunakan sistem presidensial murni.
b.
Presiden dan/atau wakil
presiden serta parlemen yang terdiri atas dua kamar dipilih langsung oleh
rakyat melalui pemilihan umum.
c.
Di bidang politik,
kedudukan presiden dan/atau wakil presiden serta parlemen sama-sama kuat.
Artinya antara kedua lembaga ini tidak bisa saling menjatuhkan.
d.
Dikenal adanya lembaga
peradilan konstitusi, yakni Mahkamah Konstitusi yang mempunyai wewenang untuk
melakukan impeachment kepada presiden
dan/atau wakil presiden jikalau ditengarai telah melakukan pelanggaran hukum
berat. Hal ini berarti presiden dan/atau wakil presiden hanya dapat dijatuhkan,
jika melakukan perbuatan yang berkaitan dengan hal-hal yang bersifat yuridis.
e.
Pertanggungjawaban yang
dibebankan kepada presiden dan/atau wakil presiden kepada parlemen harus
diawali dengan adanya pertanggungjawabkan hukum (yuridis). Adapun untuk
pertanggungjawaban politis merupakan konsekuensi logis, jika presiden dan/atau
wakil presiden telah melaksanakan pertanggungjawaban hukum tersebut. Hal ini
berarti telah mengubah paradigma yang selama ini mewarnai sistem
pertanggungjawaban presiden dan/atau wakil presiden kepada Majelis
Permusyawaratan Rakyat. Dalam paradigma lama, pertanggungjawaban presiden
dan/atau wakil presiden lebih menekankan pada pertanggungjawaban politis.
KESIMPULAN
·
Kurun waktu berlakunya UUD
1945 pertama (18 Agustus 1945 – 27 Desember 1949), yaitu
a.
Bentuk Negara Kesatuan
b.
Bentuk Pemerintahan
Republik
c.
Sistem Pemerintahan
Kabinet Presidensial
·
Kurun waktu berlakunya
Konstitusi RIS (27 Desember 1949 – 17 Agustus 1950), yaitu
a.
Bentuk Negara Federasi
atau Serikat
b.
Bentuk Pemerintah Republik
c.
Sistem Pemerintahan
Kabinet Parlementer
·
Kurun Waktu Berlakunya
UUDS 1950 (17 Agustus 1950 – 5 Juli 1959), yaitu
a.
Bentuk Negara Kesatuan
b.
Bentuk Pemerintahan
Republik
c.
Sistem Pemerintahan
Kabinet Parlementer
·
Kurun waktu berlakunya UUD
1945 kedua (5 Juli 1959 – Sekarang), yaitu
a.
Orde Lama (5 Juli 1959 –
11 Maret 1966)
b.
Orde Baru (11 Maret 1966 –
21 Mei 1998)
c.
Reformasi (21 Mei 1998 – Sekarang/
Daftar Pustaka
Aim, Abdulkarim. 2007. Pendidikan
Kewarganegaraan Kelas XII. Jilid 3. Bandung : Grafindo Media Pratama
Keren kaka, ijin ngutip sedikit tulisannya yah :)
BalasHapusyang periode 11 maret sampai 21 mei itu bentuk negaranya gimana sama sistem pemerintahanya seperti apa kka hhe makasih :))
BalasHapusKeren :D
BalasHapusKeren :D sangat terinci dan aktual.
BalasHapusizin ngutip untuk tugas kewarganegaraan saya ya mbak.
ijin kutif ya, buat tugas makasih :)
BalasHapus